Jumat, 08 Mei 2009

Menyikapi Peradaban

oleh Rahmat Arafah A
Peradaban Islam dalam sejarahnya bangun dan tegak berbasiskan ilmu pengetahuan. Maka oleh karena itu untuk membangun kembali sebuah peradaban Islam yang mana pada beberapa dekade terkahir mengalami kemunduran atau bahkan nyaris lumpuh tak berdaya adalah dengan cara menegakkan kembali pondasi bangunan ilmu pengetahuan tersebut. Karena ilmu dalam Islam merupakan prasyarat untuk dapat menguasai dunia, akhirat, bahkan dunia akhirat. Maka sangat wajarlah apabila ketika ummat Islam saat ini "dikuasai dunia" alias mengalami kemunduran. Karena orientasi hidupnya baru menginginkan kepuasan dunia. Akan tetapi sesungguhnya yang harus diperhatikan adalah bagaimana ummat islam kembali menguasai dunia. Inilah tantangan bagi kita semua sebagai generasi masa datang.

Menegakkan kembali "gedung ilmu" tidak lain adalah dengan mengarahkan kembali pola pikir manusia agar dapat berjalan berbarengan dengan prinsip prinsip ilmu pengetahuan dalam Islam. Maka membangun kembali sebuah pradaban yang sempat berjaya adalah bukan dengan membangun segala macam bentuk sarana dan prsarana yang kemudian diberi lisensi atau label Islam. Sekali lagi bukan begitu caranya. Akan tetapi dengan system mereorientasikan kembali framework pola pikir ummat Islam. Karena saat ini betapa banyak ummat Islam yang mana frameworknya adalah mengambil atau berkiblat dari Barat. Bahkan tidak jarang ummat Islam meras risih atau malu ketika menggunakan framework ke-islam-annya. Hal inilah yang sanagt menjangkit pda kalangan kaum muda ummat Islam saat ini. Merasa terkekang dengan framework Islam, namun merasa bangga ketiaka perilakunya sesuai dengan model terbaru yang diusung oleh Barat. Kalau begitu, maka kita sebagai warga Negara yangtelah merdeka semenjak tahun 1945 belunmlah merdeka secara hakiki, baru secara maknawi. Akibatnay adalah banyak sekali kita temuai pelanggaran pelanggaran social yang terjadi dikalangan masyarakat.
Lalu lantas kenapa framework pola pikir yang mesti direorientasikan??? Hal yang paling mendasar adalah bahwa ilmu merupakan hasil "by-product" dari pandangan hidup "worldview" suatu komunitas bangsa atau agama tertentu yang dianut. Sehingga masing masing agama serta bangsa mempunya worldview yang mesti dipegang teguh untuk membentuk sebuah peradaban mereka masing masing. Makanya setiap ilmu apabila kita lihat dan cermati dengan jelas dan seksama akan memiliki worldview. Apabila kita melihat ilmu dengan menggunakan kacamata epistemology, maka ilmu juga mempunyai muatan yang bersumber dari pandangan hidup suatu bangsa, agama dan perdaban.
Prinsip prinsip epistemology Islam yang pasti juga berasal dari peradaban Islam tentu mempunyai kandungan dan nilai nilai ke-Islaman. Islam sendiri telah mengajarakan bahwa tidak adanya dikotomi antara sains dan agama. Begitulah Islam mengajarkan pandangan hidup bagi ummatnya.
Akan tetapi, sangat berbeda sekali apabila kita bandingkan dengan pandanagan hidup "wordview" yang saat ini sedang diagung agungkan oleh Barat serta sekutunya. Ilmu Barat munculnya bukanlah dari pandangan hidup "worldview" agama yang mereka anut. Kenapa hal tersbut bisa terjadi bagi mereka??? Hal ini dikarenakan hubungan antara agama dan sains di Barat memang suatu hal yang sangat problematic hingga detik ini. Sebuah makalah dengan judul "Problem Agama dan Sains di Dunia Kristen dan Barat", dalam makalah tersebut diutarakan bahwa relasi wahyu dan akal yang problematic tersebut akan berakhir dengan superioritas akal. Sehingga out putnya adalah worldview yang sekuler juga melahirkan ilmu ilmu yang bernafaskan sekuler juga. Hal inilah yang oleh sebagian ummat Islam yang mereka agung agungkan, diantaranya gerombolan Ulil Absar Abdalla bermotorkan JIL nya.
Oleh karena itu, jika kita ingin mengembangkan epistemology Islam, maka langkah yang tepat adalah menderivasi prinsip prinsip yang berasaskan atau bersumberkan worldview Islam sendiri yaitu Al-Qur'an dan Hadits.. Sehingga jika sudah demikian adanya, maka kita akan dapat menikmati dengan indahnya framework pemikiran Islam yang tersentral untuk membangun kembali peradaban Islam yang sempat berjaya.
Dalam Islam, masalah sumber ilmu yang pasti dan yang tidak pasti telah dibeberkan dengan sangat jelas dalam worldviewnya. Dari satu masalah sumber ilmu ini saja, dapat diketahuai bahwa karakteristik epistemoloi Islam sudah dapat dibedakan dengan epistemology yang lainnya. Maka implikasinay adalah mengambil prinsip prisip epistemology ilmu dari peradaban yang lain tidak dapt dilakukan dengan mentah mentah tanpa memperhatikan dan meneliti keserasian dengan epistemology Islam.
Persolan epistemology yang saat ini dihadapi oleh ummat Islam adalah ketika pemahaman terhadap sebuah wahyu ilahi dibenturkan dengan kondisi realitas social kemsyarakatan yang sangat majemauk dan plural. Prinsip epistemology yang muncul dalam kasus ini adalah hubungan antara wahyu dan akal ,antara nash dan waqi', antara aqidah dan syariah. Akan tetapi yang paling penting dan yang paling utama adalah hierarki dan sumber ilmu yang mencerminkan susunan otoritas.
Problem epistemology dalam pemikiran Islam sesungguhnya berdiri dengan sendirinya. Akan tetapi mempunyai hubungan yang sangat erat dan kuat dengan aqidah. Sebuah ayat yang artinya "katakanlah bahwasanya tidak ada Tuhan selain Allah" -QS:Muhammad; 19- mempunyai sebuah isyarat adanya hubungan antara epistemology dengan teologi.
Prof. Al-Attas dalam sebuah tulisannya dengan judul "Prolegamena to The Metaphysics of Islam" menegaskan bahwa Islam tidak dapat menerima paham relativisme dalam epistemologi serta etika yang menjadikan manusia sebagai patokan tolak ukur. Islam juga tidak dapat mengambil skeptisisme, agnotisime, dan subyektifisme. Karena hal hal tersebut merupakan aspek penting dalam proses sekulerisasi yang kemudian melahirkan modernisme serta post modernisme.
Dalam Islam, ilmu tentang realitas sesuatu dan hakekatnya dapat diketahui melalui panca indera, akal, intuisi, dan kabar yang dapat dipercya akan keabsahannya "khabar shadiq" dari agama yang ditransmisikan oleh orang orang yang memiliki kredibilitas akhlaq dan otoritas ilmu. Makanya cara berfikir yang benar adalah bagian dari keberagaman yang fundamental, namun sebaliknya, pemikiran yang tidak sehat atau tidak berbasiskan pada epistemology Islam tentu akan berdampak buruk terhdap kehidupan keberagaman dan peradan dalm Islam sendiri.
Akhirnya, rusaknya keberagamaan ummat Islam lebih karena rusaknya pola pemikiran. Serta hancurnya perdaban Islam lebih disebabkan karena hancur serta hilangnya nilai nilai ilmu pengetahuan yang telah diwariskan kepada ummat Islam.
Allahu A'lam Bishawab

Tidak ada komentar: